salam

salam

Senin, 21 Desember 2009

Orang Beragama Atau Orang Baik ?

(Sebuah renungan manifestasi penjabaran beragama Islam secara Kaffah kedalam kehidupan)

Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang Ulama kaya raya yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang. Setelah berjalan selama 20 tahun, si Ulama Kaya ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu, ''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''


Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia memukul dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya. Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, Ulama Kaya menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang. Ada banyak contoh fenomena yang dapat kita lihat dimasyarakat. Kita sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Adapula kawan yang rajin mengaji dan berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.

Lantas dimana letak kesalahannya? Pertama Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia. Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking). Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.
Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.
Salah satu cara untuk mengajarkan pemahaman agama secara utuh adalah melalui pendidikan yang di mulai sejak dini. Format pendidikan nasional yang sudah bergulir puluhan tahun, ternyata belum juga mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur, dan memiliki integritas yang tinggi. Yang terjadi justeru sebaliknya, moral bangsa semakin terperosok ke dalam kubangan lumpur yang menjijikan. Indonesia kini telah menjadi bangsa yang dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi, tingkat kerusakan lingkungan, tingkat kriminalitas, penggunaan narkoba dan penghutang tinggi di dunia. Semua itu terjadi karena format pendidikan yang diterapkan di negeri kita telah mengalami ketimpangan kurikulum. Pada sector pendidikan umum terjadi "sekularisasi pendidikan", yang memisahkan pendidikan umum dari pendidikan agama yang sesungguhnya sarat dengan pesan moral. Sementara di sector pendidikan agama yang banyak diselenggarakan dalam institusi madrasah atau pesantren terjadi "sakralisasi" yakni, muatan agama yang seolah "tidak peduli" dengan apa yang terjadi dan berkembang di dunia. Jadilah mereka murid yang mengetahui ilmu agama, tetapi gagap dalam beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari yang sarat dengan perubahan dan perkembangan ilmu dan teknologi. Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz Dzariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30/ 33: 72)

(NAF) Jakarta, April 2005 “ketika aku diantara melamun, mengantuk dan merenung pas lagi Jobless”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar